Selasa, 09 November 2010

Sebanyak 134 mahasiswa Tajikistan yang menimba ilmu di Univ. Al Azhar dipulangkan paksa oleh pemerintahnya, dengan alasan mereka keluar dari negerinya secara ilegal. 

Namun indikasi lebih kuat menyebutkan, sikap pemerintah ini lahir dari sebuah ketakutan akan menguatnya pengaruh Salafi di negerinya, yang banyak dibawa oleh mereka yang belajar Islam di wilayah Arab.

Menteri urusan Agama Tajikistan melaporkan, bahwa maskapai penerbangan Tajikistan Airlines pada hari Senin (8/11) kemarin telah memulangkan sebanyak 134 mahasiswa negerinya yang tengah belajar di Al Azhar. Semua ini dilakukan atas perintah dari Presiden Tajikistan, Imam Ali Rahman.

Sumber berita AFP menyebutkan, bahwa jumlah total mahasiswa Tajikistan yang berada di Mesir lebih dari seribu orang, 250 orang diantaranya adalah mahasiswi.

Upaya pemulangan paksa ini sendiri sebenarnya sudah direncanakan pemerintah sejak bulan Agustus lalu, ketika Ali Rahman mengecam lembaga-lembaga Al Quran di luar negeri yang ia sebut sebagai kantong pencetak kader teroris. Ia pun memerintahkan kepada pemuda Tajikistan yang belajar di lembaga-lembaga Al Quran itu untuk segera kembali ke negeri asalnya, apabila tidak mau pulang dengan kesadaran sendiri, maka akan dipulangkan paksa.

Al Azhar sendiri tidak pernah sekali pun menyebarkan paham salafi. Namun kebanyak mahasiswa Tajikistan belajar otodidak dan mencari pusat-pusat kajian ulama salafi. Sehingga doktrin kuat itu dikhawatirkan dapat membahayakan pemerintah negerinya begitu mereka kembali ke tanah air. Pemerintah Mesir tak mampu berbuat banyak atas keputusan ini begitu pula hal-nya dengan Al Azhar.

Kondisi Keislaman
Tajikistan merupakan negeri pecahan Uni Soviet yang berada di wilayah Asia Tengah. Merdeka dari Soviet pada tahun 1991. Dari total penduduknya yang berjumlah 7,3 juta jiwa, 98 %-nya adalah muslim. Dari segi wilayah, Tajikistan merupakan negara dengan luas terkecil di dataran Asia Tengah.

Sebanyak 2000 buah masjid berdiri di negeri ini, apabila hari besar Islam tiba, seperti Ied dan hari Jumat, masjid-masjid ini selalu dipadati oleh jama'ah. Namun teks khutbah dan pembagian lokasi sholat, disetir oleh pemerintah, yang dibawahi oleh kementrian urusan Agama.

Pada hari kebesaran Islam seperti itu, masyarakat Tajikistan berbondong-bondong menuju masjid, namun di hari-hari biasa, masjid-masjid sepi, karena masyarakat tidak memahami akan keutamaan sholat berjamaah. Masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang dalam tentang agamanya. Sedikit sekali terdapat buku-buku yang menjelaskan tentang Islam, perpustakaan buku-buku Islam bisa dihitung dengan jari.

Kondisi seperti ini tak lepas dari trauma yang dimiliki masyarakat Tajikistan dalam menjalankan agamanya. Setelah mendapat tekanan dalam berislam di bawah pemerintahan Komunis Soviet, paska merdeka pun, warisan kecemasan akan Islam itu masih ada. Negeri ini dipimpin oleh pemerintah yang lemah pemahaman Islamnya, sehingga banyak para aktivis Islam kemudian ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.

Ridho Abdul Wadhud, kolumnis yang menulis makalahnya dalam majalah Al Furqan terbitan Kuwait menceritakan, bahwa pemerintah Tajikistan banyak melakukan penutupan terhadap masjid-masjid yang dituduh berseberangan dengan kebijakan pemerintah, serta kerap melakukan pemeriksaan berlebihan disertai intimidasi terhadap jama'ah. Kondisinya menjadi tak jauh beda seperti ketika berada di bawah kekuasaan komunis Soviet. Jangan harap dapat dengan mudah menemukan kumpulan orang yang duduk membicarakan agama, karena hanya dalam beberapa saat saja mereka segera dibubarkan dan digelandang menuju kantor polisi.

0 komentar:

Posting Komentar